IDENTITAS ISLAMI DALAM FILM MADANI, SEBUAH UPAYA POLITIS?
IDENTITAS ISLAMI DALAM FILM MADANI, SEBUAH UPAYA POLITIS?

Oleh: Yaswin Iben Shina

 

 

Tahun-tahun belakangan ini di tanah air, sekadar menyentuh topik identitas sosial di ranah publik, menimbulkan rasa tidak nyaman dan risih. Identitas terasa membelah kita: antara aku dan bukan aku, antara kami dan kalian. Kamu dan aku tidak sama. Aku di kotak ini, kamu di kotak itu. 


Kami, selalu merasa unggul di atas kalian. Sebaliknya, kalian adalah seluruh kekurangan, karena kalian adalah yang “lain”, yang “bukan kami”. Kebenaran adalah sejauh kelompok kami, apalagi jika identitas kalian tidak cukup punya power, maka kalian harus kalah atau mengalah pada suara mainstream.


Di tengah nuansa seperti ini, tiba-tiba Dr. Ekky Imanjaya, kawan saya, bersama kompatriot-nya Hikmat Darmawan dan kawan-kawan, menambahkan keruwetan ini dan merambah “medan perang baru” identitas dengan sebuah aktivasi sub budaya pop—dalam  hal ini sinema—melalui Peluncuran Buku karya Ekky Mencari Film Madani. Bedah bukunya dilakukan berbarengan dengan Madani Film Festival 2019 yang sudah diadakan kedua kalinya. 


Kegaduhan macam apalagi ini? Apakah kegaduhan politik melalui pemilu 2014, 2019, yang penuh dengan politik identitas dengan segera merambat dalam polemik kebudayaan (seperti di seputar tahun 1965) dalam kategori film? Seperti apa sih Film Madani? Apa sih yang dimaksud Film Madani? 


Sudah tentu membuat kategori Film Madani adalah sebuah pertaruhan sekaligus pertarungan, menyangkut lahirnya sebuah identitas baru. Ada film yang masuk dalam kategori madani, dalam hal ini tentunya juga dikotakkan ke dalam Islami, dan ada kategori film yang “bukan madani”. Ruwetnya lagi kata “Madani” dalam bahasa Arab adalah Kategori yang sesungguhnya “netral” dengan arti yang sangat umum dalam bahasa Arab sebagai keadaban atau yang menyangkut peradaban. Di sini menjadi arti lebih spesifik: (film) madani adalah milik dunia Islam. Lha!


Adakah ini upaya untuk menyiangi atau memilah belantara film: ini Film Islami, ini bukan, sehingga mengobarkan semangat ummat untuk berbondong-bondong menonton film Madani? Atau justru sebaliknya, Film Islami harus yang madani! Bukan yang ini yang Islam, bukan yang itu, dan sederet polemik yang mengikutinya.

Di tengah sekian pertanyaan itu, last minute saya diminta jadi moderator pada peluncuran buku tersebut, karena moderator yang dipersiapkan pada hari itu, Ifan Adriansyah Ismail, mengalami gangguan pada pita suaranya. Tulisan ini hanyalah sekadar upaya untuk berbagi kilasan seorang moderator atas pencarian Film Madani sebagaimana yang menjadi topik buku Ekky Imanjaya.

 

 

Saya tidak akan masuk ke dalam kriteria lebih jauh tentang apa itu Film Madani, seperti apa kriterianya, yang menjadi salah satu perdebatan diskusi siang itu. Saya percaya para kurator Madani Film Festival 2019 yang berpengalaman dan punya reputasi di bidangnya tentu lebih paham. Saya juga tidak akan membahas mengenai seperti apa pemakaian simbol Islam, pesan-pesan Islam yang layak dikategorikan sebagai sinema madani dan tidak.

 

Awalnya, saya berencana datang sebagai seseorang penikmat film dan peserta diskusi. Saya datang sebenarnya ingin menggugat: Ngapain sih menambah keruwetan dengan Kategori Film Madani? Film ya dinikmati saja. Siapa pun yang buat. 

 

Kok saya merasa orang Islam seperti saya selalu punya semangat apa pun harus di-Islam-kan. Gregetan gue. Ini gak jauh-jauh dari semangat lebih dulu: Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Saya hanya tidak tahan bertanya: mengapa kalian, dan kau wahai Ekky, mengedepankan sebuah cluster, atau kategori baru dalam peta perfilman Indonesia yaitu Film Madani. Sebuah upaya bersikap superior? Mayoritas mah bebas? Atau sebuah sikap apologetik dari dunia Islam yang terdominasi oleh dunia modern, padahal berabad lampau mendominasi peradaban dunia? Bahwa kami punya lho sinema islam yang kami sebut sinema madani.

 

Apa Jang Kau Tjari, Palupi? Eh, apa yang kau cari, Ekky?

 

Pada hari itu, saya justru pulang membawa secuil kegembiraan. Pulang dengan pemahaman baru dari Madani Film Festival. Alih-alih membayangkan akan bangkitnya “perang wacana” tanpa akhir seperti di penghujung Orde Lama dan dibalas di awal Orde Baru, yang sibuk dengan pertarungan definisi "Seni untuk Seni" dan "Seni untuk Revolusi," saya malah mendapatkan wawasan baru: pemahaman baru tentang IDENTITAS. 

 

Panelis yang menohok saya di ronde pertama adalah Inayah Wahid (kok saya kangen bapaknya?), pegiat seni peran dan Si Bu Boss ojol di Sitkom. Dia yang pertama memberi pukulan telak atas kesadaran saya tentang Identitas. Barangkali, kesadaran saya akan identitas sudah dibajak oleh kepentingan politik yang selalu melihat ruang identitas, apalagi identitas agama, sebagai sexy! Ya! Bagi politik, agama itu menggairahkan! Agama adalah peluang kekuasaan. Ruang- ruang identitas kolektif di kepala kita, telah diambil alih dari sebuah perayaan kebersamaan menjadi perayaan kekuasaan. Identitas yang lain menjadi ancaman, pesaing, dan layak untuk disingkirkan. Untuk itu, Inayah menawarkan proposisi: masyarakat, sebagai entitas genuine dari identitas-identitas tersebut layaklah untuk muncul kembali dengan identitasnya, mengambil kembali identitas (Inayah memakai kata “dicuri”)  dan tampil sebagai ruang “perayaan kebersamaan” yang tampil berbeda-beda tentunya. Dan tampil dengan ciri khas masing-masing, tentunya. Dengan kata lain, Identitas kita tampil secara organik, dengan demikian hadir secara wajar, dan berinteraksi secara alami. Inayah melanjutkan, identitas itu memancar dalam keadaan kita sehari-hari, kesedihan kita, kegembiraan kita, ajaran-ajaran kita, nilai-nilai kita. Di sinilah, Madani Film Festival, ingin berbagi dengan publik: kegembiraan, kesedihan, mereka yang beridentitas Islam yang terdokumentasi dalam film.

 

Akan menarik kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan: lalu seperti apa identitas Islam? Kalau kita lihat sejak Rasulullah SAW 1400 tahunan yang lalu, masyarakat Islam sudah tersebar ke berbagai suku bangsa, berbagai identitas yang menyerapnya. Akankah semua yang memakai label Islam, sudah pasti Islami? Benarkah yang Islami mengabaikan budaya dan identitas yang sudah ada dan berbeda-beda dari pemeluknya? Apakah Islam memberi warna ruh pada kebudayaan yang sudah ada, atau kebudayaan yang sudah ada harus takluk pada otoritas yang disebut Islam?

 

Di titik ini Haidar Bagir sebagai ahli filsafat dan tasawwuf memberikan pandangan yang menarik tentang hubungan Islam dengan seni/budaya sebagai ekspresi sosial. Sebagaimana dituliskannya juga dalam pengantar buku Mencari Film Madani, Ia lebih dahulu mengutip Oludamini Ogunnaike, seorang ahli Islam di Amerika Serikat yang melontarkan wacana “Teologi Diam”. Bagi Ogunnaike, seni sebenarnya juga adalah cara mengetahui Tuhan: bukan dengan wacana atau ceramah-ceramah, melainkan dengan merasakan tanda-tandaNya. Maka, seperti dikatakan Ogunnaike yang dikutip Bagir, dia lebih suka mengajak non-muslim yang ingin mengetahui Islam, bukan dengan menyuruhnya baca buku ini-itu, atau mendengarkan ceramah ini-itu, melainkan dengan mengajaknya menikmati karya-karya seni Islam. Dalam mistisisme Islam, memang segala ciptaan Tuhan disebut “tajalliyat” (“pancaran/manifestasi/teophany”) penciptanya. Maka, bagi Haidar, film, yang dibuat dengan kepercayaan kepada kekuatan seni, keindahan, dan autentisitas sesungguhnya adalah film dakwah. Sebuah film dakwah (Islami—pen.) tidak harus didefinisikan sebagai film yang secara verbal menonjolkan simbol-simbol dan mencekokkan dogma-dogma atau doktrin-doktrin ajaran Islam.

 

Di sini saya jadi lebih memahami ungkapan para anggota Festival Board yang menyatakan Sinema Madani mengusung "Living Islam" alias Islam yang dihayati, bukan rangkaian teks yang diceramahkan. Sebagaimana Islam yang berjalan dalam bingkai kehidupan penderita Lepra yang penganut kristen menelusuri identitasnya sebelum dibuang oleh keluarganya di negeri bernuansa Islam: Mesir. Dalam Film berjudul Yomeddin yang juga mengawali festival ini, ada banyak sentuhan cakrawala Islam, dan menariknya: minim verbalisme Islam.

 

Lanjut lagi ke pukulan telak kedua untuk saya dalam diskusi ini, dan ini paradoks, adalah Identitas justru “memperlebar ruang kebersamaan”. Bagaimana bisa? Perbedaan malah memperkuat kebersamaan?

 

Adalah sebuah kenyataan yang tak dapat ditolak bahwa identitas adalah sesuatu yang tidak mungkin dilepaskan dari manusia. Menghapuskan identitas yang berbeda-beda adalah sebuah upaya yang sia-sia.

 

Najeela Shihab, panelis berikutnya yang merupakan seorang pendidik menekankan bahwa identitas sosial yang merupakan sebuah narasi kelompok adalah sebuah keniscayaan. Dan Film adalah sebuah sarana pengajaran dan pemahaman akan identitas sosial bagi penontonnya. Film adalah sarana paling efektif untuk menyampaikan narasi-narasi ketimbang menghafal atau membaca. Film, yang merupakan media audio-visual, meninggalkan jejak yang dalam untuk pembentukan karakter dan identitas seorang peserta didik.  Ia berharap para sineas menggarap film sebagai sarana pembentukan dan pendidikan karateker seorang peserta didik, yang berjalin berkelindan dengan identitas sosial dan keyakinan kelompok di dalamnya.

 

Bukankah ini melahirkan persaingan identitas untuk tampil ke depan dan berpotensi menimbulkan fragmentasi sosial dan friksi dalam masyarakat? Menarik sekali merenungkan Pidato Kebudayaan 2019 oleh Seno Gumira Adjidarma di TIM. Seno melihat identitas—ia banyak merujuk pada nuansa terakhir bangsa ini setelah Pemilu 2014 dan 2019—adalah persaingan wacana yang memegang pandangan bahwa setiap wacana menganggap dirinya pemegang kebenaran mutlak. Untuk itu memang benar bahwa setiap wacana, yang seharusnya merupakan kebenaran yang sejatinya bersifat relatif (karena pencarian terhadap kebenaran dalam filsafat seperti dikutip Seno malam itu, adalah nyaris sia-sia namun dimungkinkan), kemudian saling bersaing dan memaksakan wacananya sebagai KEBENARAN. Terjadilah dominasi dan hegemoni terhadap KEBENARAN-KEBENARAN lainnya. Kebenaran yang dominan MEMAKSA kebenaran yang lain untuk mengakui bahwa KEBENARANNYA adalah KEBENARAN TUNGGAL YANG MUTLAK.

 

Lalu bagaimana menyikapi kondisi di atas, di mana identitas tidak bisa dihilangkan dari komunitas sosial namun pada saat yang sama identitas juga berpotensi menjadi sumber kekerasan sosial?

 

Identitas tidaklah mungkin dihapuskan atas nama kebersamaan. Identitas juga tidak bisa ditunggalkan demi terciptanya kestabilan dan perdamaian. Namun ada cara lain untuk menyikapi identitas dan wacana yang diusungnya. Bukan dengan kekerasaan, tetapi melihatnya sebagai Potensi perluasan pemahaman kosmologis kita.

 

Identitas adalah ruang untuk perayaan perbedaan-perbedaan. Alih-alih identitas saling membunuh dengan cara menghapuskan identitas lain (yang paling menyedihkan adalah ethnic cleansing), identitas justru memberi kesempatan memahami “yang lain.” Di sinilah peran identitas yang berbeda justru memperlebar ruang pemahaman kita terhadap yang berbeda atau yang lain, bukan mempersempitnya menjadi ruang kebencian atas yang bukan aku. Keberadaan yang berbeda.

 

Dialog. Dialog antar identitas yang berbeda. Inilah kesempatan untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas, di mana persaingan bertransformasi menjadi pemahaman. Dari persaingan menjadi kehadiran bersama.

 

Terus terang, dengan genit saya akan menambahkan apa yang sering didengungkan oleh YM Thich Nhat Hanh seorang Bhikkhu dan pegiat perdamaian sebagai interbeing: bahwa kehadiran aku ada karena/bersama kehadiran yang lain. Atau dalam bahasa Hindu dikenal sebagai Tat Twam Asi: Kamu adalah Aku, Aku adalah Kamu.

 

Kalau Ekky memakai kata co-exist, ia menulisnya dalam buku Mencari Film Madani begini:

 

Toleransi, sederhananya, adalah bersikap “silakan lakukan apa saja, asal jangan ganggu keyakinan saya.” Sedangkan koeksistensi adalah sikap “kita memang berbeda, tapi mari bekerja sama.”

 

 

 

* Penulis adalah penikmat film dan penggombal bunga-bungaan biar mekar.

 

Buku MENCARI FILM MADANI, Sinema dan Dunia Islam adalah kumpulan tulisan Dr. Ekky Imanjaya. Buku adalah salah satu dari seri Wacana Sinema terbitan DKJ. Buku ini memancing Yaswin Iben Shina menulis esai bersemangat yang bergulat dalam permenungan tentang politik identitas dan seni dalam konteks dunia Islam Indonesia.

19 Desember 2019
Dilihat sebanyak
2230 Kali
Lainnya...
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
 1 2345     >>>
Pabrikultur © 2015