CINTA DI TENGAH LOGIKA KEKERASAN
CINTA DI TENGAH LOGIKA KEKERASAN


Dilan 1990

Sutradara: Fajar Bustomi, Pidi Baiq, Penulis: Pidi Baiq, Pemeran: Iqbaal Ramadhan, Vanesha Prescilla, Produksi: Falcon Pictures, Maxima Pictures (2018)


Oleh: Ivann Makhsara

Nama Dilan dibicarakan banyak orang di media sosial belakangan. Nama ini mengacu pada karakter yang ditulis oleh Pidi Baiq dalam novel Dilan 1990 yang kemudian ditampilkan di layar lebar dengan judul yang sama. Dilan menarik perhatian banyak orang karena siasat dan pesonanya. Setelah sejak lama tak ada lagi karakter remaja yang begitu ikonik, Dilan mengisi kekosongan itu.

Penonton diajak mengenal Dilan melalui narasi Milea, perempuan yang dibuatnya jatuh hati. Milea yang kini hidup di tahun 2014 mengenang lagi masa-masa ketika ia bersekolah di tahun 1990. Ia pindah dari Jakarta ke sebuah sekolah di Bandung untuk kemudian bertemu dengan Dilan, anak muda keren yang dengan gigih mendekatinya. Milea menceritakan pengalamannya secara sentimentil, kadang cerita dibumbui kalimat-kalimat puitis. Selayaknya siapapun yang bernostalgia, hal-hal manis yang tampil terdepan. 

Melalui cerita Milea, penonton dibawa larut menyelami sosok Dilan. Dilan yang agresif mendekati Milea dengan yakinnya akan menjadi pacar perempuan yang ia taksir. Jurus gombalan ajaib yang jenaka dan banyak akal jadi senjata andalan. Dilan menunjukkan kepada Milea kalau ia adalah orang yang pantas sebagai kekasihnya. Ia mengantar Milea pulang agar tidak diganggu, Ia berani menghadap orang tua Milea, Ia punya ide-ide yang tak terpikirkan. Meski gencar melakukan serangan, ia tahu kapan harus mengalah. Ketika Nandan, laki-laki lain yang juga suka kepada Milea terlihat makin merapat, Dilan tahu diri melangkah keluar. Waktu Milea merasa kehilangan, ia sadar bahwa ia telah menggenggam hati Milea. Selanjutnya adalah perjalanan PDKT keduanya dan segudang lika liku anak sekolah.

Hal paling menarik dari Dilan adalah karakternya yang tidak ditampilkan satu dimensi. Ia adalah cowok bernyali yang cuek pada norma (mendatangi rumah cewek yang belum terlalu dikenal tentu adalah sesuatu yang tak patut ditiru) namun menuruti Milea yang ia cintai ketika akan membalas dendam terhadap geng motor yang menyerang sekolahnya. Ia punya segudang filosofi tentang hidup (bagaimana guru harus memperlakukan muridnya) tapi terus melanggar peraturan sekolah. Ia dekat dengan keluarga, disegani teman, ditakuti petinggi sekolah, dengan mudah dicintai Milea. Kompleksitas karakter macam begini agak jarang ditemui di film-film sejenis.

Permasalahan terbesar Dilan tentu adalah temperamennya. Malahan sifatnya yang bisa berubah menyeramkan ini adalah motivasi utama sang karakter. Baginya satu-satunya cara menyelesaikan masalah adalah dengan kekerasan. Sebagai sang panglima tempur, ia memang tidak diperlihatkan terlibat perkelahian antar geng motor. Justru sasaran amarahnya adalah orang-orang yang berada di sekitarnya (guru dan teman dekatnya).

Hal ini sebenarnya tidak mengherankan, ia adalah anak yang tumbuh dengan konsep machoisme. Ayahnya tentara, idolanya Ronald Reagan dan Ayatollah Khomeini. Sebagai anak yang tumbuh di tahun 1990 sangat mudah membayangkan ia menonton film-film Arnold Schwarzenegger atau Sylvester Stallone. Di era itu, perang juga adalah santapan utama di berita televisi. Maka jangan bingung kalau ia rela menghilangkan orang demi melindungi orang yang ia cinta. Dengan asupan sedemikian rupa, konsep perkelahian sebagai jawaban adalah sesuatu yang tidak asing. 

Tentu saja adalah sesuatu yang problematik untuk menampilkan sosok macam Dilan, anak sekolah yang berlaku seperti hidup di hutan rimba. Di sinilah dibutuhkan peran Milea yang berfungsi sebagai penenang badai. Milea memang tak seribet Dilan, ia anak dari keluarga baik-baik, mudah berteman, sedikit polos. Tapi justru ialah yang menggunakan logika, berlawanan dengan Dilan yang lebih mengutamakan emosi/perasaan. Ia lalu menjadi penjaga moral untuk Dilan yang telah merebut hatinya. Ketika ia mengatai Dilan dengan sebutan brengsek saat Dilan menghilang, penonton dipertunjukkan bahwa seliar-liarnya hidup tetap saja ada perempuan hebat yang jangan dibikin marah.

Tak banyak latar belakang yang dijelaskan mengenai Milea. Harap maklum karena ia sendiri yang menceritakan kisahnya. Satu-satunya yang bisa disimpulkan adalah kecantikannya mengundang masalah. Milea, entah bernasib beruntung atau sial dengan parasnya yang membuat ia dikelilingi para pria yang berusaha merebut hatinya. Mulai dari Dilan yang dengan mengagetkan hadir di depan rumahnya dan seakan-akan mengetahui segala tentangnya, Nandan ketua kelas yang menyalahgunakan kekuasaan buat mendekati Milea, Beni sang pacar yang cemburuan dan gampang mengeluarkan kata-kata kasar, sampai Kang Adi yang memaksanya pergi ke ITB bareng. Bukan cuma keempat cowok itu, ada juga Anhar, teman Dilan yang juga menggoda dengan sembrono. Milea benar-benar seperti perawan di sarang penyamun.

Filmnya memang tidak memuat masalah besar untuk diceritakan. Tapi justru disitulah kekuatannya. Film ini hanya berkisah tentang Milea yang dihadapkan banyak pilihan. Pada akhirnya, Dilan yang ruwet itu menjadi cowok ideal bagi Milea karena berhasil memenuhi janji untuk menjaganya. “Gue tuh butuh cowok yang bisa nolong, bukan yang minta tolong,” katanya marah kepada mantan pacarnya. 

Terlepas apapun yang terjadi di sekuelnya, film ini mengajak penonton melihat bagaimana dinamika percintaan remaja. Seperti juga My Generation, film ini tidak mengada-ngada dengan problemanya. Permasalahan yang mereka hadapi adalah sesuatu yang normal bagi anak-anak seumuran mereka. Menangisi masalah sepele atau berusaha menorehkan tempat di dunia adalah hal-hal yang wajar mereka punyai. 

Sebagai sebuah film pop, Dilan 1990 memenuhi tujuannya. Filmnya menghibur, dibuat dengan tepat kadarnya, dipenuhi adegan-adegan mengesankan, diperkaya adegan-adegan kecil yang dekat dengan kenyataan (berjalan dan naik angkot bersama untuk pulang).. Pertunjukan utamanya adalah padu padan kimiawi antar aktor dan aktris utamanya -Iqbaal yang melebihi ekspektasi dan Vanesha yang mencuri hati. Rasanya tak mengherankan jika film ini menjadi film yang akan dikenang dalam waktu yang panjang. Dilan dan Milea adalah Rangga dan Cinta, Galih dan Ratna, Lupus dan Poppy generasi ini.

Fun Fact: Karakter yang diperankan Vanesha Prescilla yaitu Milea di beberapa kesempatan diperlihatkan membaca Olga karangan Hilman Hariwijaya. Kakaknya Sissy Priscillia di awal kariernya berperan menjadi Olga di sinetron Olga Mania yang ditayangkan Indosiar di tahun 2002.

04 Februari 2018
Dilihat sebanyak
7836 Kali
Lainnya...
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
GHIBAH: EKSPRESI HOROR YANG MADANI
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MENGUAK RASISME DALAM TEKNOLOGI, Ulasan Coded Bias
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
MEKKAH I*M COMING: Bermain dengan Kebohongan
 1 2345     >>>
Pabrikultur © 2015